NEGARA, INTEL, DAN KETAKUTAN
Gelombang
kekerasan yang melanda Indonesia, seperti konflik Aceh, kerusuhan Mei 1988,
kekerasan komunal di Kalimantan Barat dan Tengah, konflik komunal di Poso dan
Maluku, serta strategi bumi hangus di Timor Timur pasca jajak pendapat, mengundang
banyak perhatian dari masyarakat internasional, media massa, organisasi
nonpemerintah, dan juga akademisi. Cukup banyak akademisi yang berupaya untuk
menjelaskan fenomena kekerasan yang terjadi dalam konteks ruang dan waktu yang
spesifik. Pola induksi ini digunakan oleh Schulze, Bertrand, Van Klinken dan
Aditjondro untuk menganalisis ”perang saudara” yang terjadi di Maluku. Kajian
induktif juga dilakukan oleh Rohde untuk mendeskripsikan konflik agama dan
etnis yang terjadi di Poso. Ravich dan Sukma menggunakan pendekatan yang sama untuk
menjabarkan konflik yang terjadi di Aceh. Kontribusi yang sama juga diberikan
oleh Djuli dan Jereski yang berupaya untuk melakukan komparasi tentang konflik
sumberdaya yang terjadi di Aceh dan Papua.
Gelombang
kekerasan diatas terjadi antara lain karena Indonesia memiliki struktur negara
yang lemah (weak state). Dalam suatu negara lemah, kebijakan politik yang
diambil terkondisikan oleh instabilitas politik, krisis legitimasi, lemahnya
identitas nasional, tidak berfungsinya institusi sosial politik, kemiskinan
ekonomi dan sangat rentan terhadap tekanan-tekanan eksternal. Hal ini membuat
Indonesia terus-menerus berada dalam process of crisis management atau yang
lebih dikenal dengan the politics of survival.
Komentar
Posting Komentar