PERS MAHASISWA MELAWAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN


Hidup tak hanya senyum, kembang dan kelam 

Tapi juga

Keringat air mata dan laut

(Zawawi Imron: Hidup tak Hanya)

Duduk meriung dalam diskusi. Ada teh, pisang goreng dan kacang. Raut wajah mereka masih sama: ingin tahu, sinis dan mendebat. Sesekali muncul pendapat dengan kutipan para ahli atau komentar konyol para pelawak. Suasana informal dan segar selalu saja datang ketika saya menemui mereka. Aktivis pers mahasiswa yang selalu punya ambisi gila; membongkar tiap persoalan dengan tujuan heboh. Menciptakan sebuah negeri yang bebas kezaliman. Sebuah niat yang mirip dengan isi semua kitab suci: membuat dunia yang bersih dari kejahatan. Kemustahilan yang sayangnya selalu dinikmati dan diperjuangkan. Lewat tulisan, upaya suci itu dihadirkan: tidak rutin dan mungkin juga tidak banyak dibaca. Tapi pers mahasiswa berdiri dengan angkuh sembari sadar kalau dirinya memang tak punya kekuasaan tunggal opini.

Kini pers mahasiswa hadir dalam suasana yang amat berbeda. Masa di mana jaminan kebebasan hadir. Tiap media seperti juru bicara bagi yang memiliki kuasa. Tak jarang para pemilik ini bertindak anarki: iklan atas figurnya dipasang di tiap acara dan bahkan istrinya jadi bintang untuk menemaninya. Liputan berita kemudian mengikuti arus kepentingan para pemilik. Akurasi dan objektivitas lalu disangsikan. Tapi itu bukan berarti media lalu kehilangan kekuatanya. Terdapat banyak kasus yang terungkap karena penciuman dahsyat media. Korupsi dan terorisme salah satu prestasi hebatnya. Lalu di mana posisi pers mahasiswa? Dengan modal cekak, tim yang disibukkan oleh kuliah dan kepemimpinan yang cepat berganti maka ruang kuasanya kian terbatas. Tapi kenekatan dan kecerdikan mengalahkan semua kelemahan itu: pers mahasiswa membuktikan diri sebagai kekuatan yang andal. Buku ini mengisahkanya dengan jitu.

Pemberitaan tentang kampus. Persisnya tentang komersialisasi perguruan tinggi. Urusannya tak jauh dari mahalnya biaya kuliah hingga kian sulitnya akses masuk untuk orang miskin. Pada kasus itulah pers mahasiswa mengambil sikap berontak: kampus tak bisa dikuasai oleh segelintir pecandu duit. Kampus tak bisa lagi mengelola managemen dengan logika pemerasan. Pers mahasiswa lalu berdiri dengan penuh martabat melawan situasi itu. Maka bermunculan banyak tulisan yang dipilih oleh penulis dalam beberapa kategori.

Duel untuk melawan komersialisasi kampus itu diwujudkan dengan banyak taktik. Secara wacana dikembangkan opini yang melucuti kelemahan komersialisasi. Tampil pula para pengamat dan korban langsung dari kebijakan sadis ini. Tak jarang para aktivis pers mahasiswa itu turun ke jalan lalu melakukan demo besar-besaran. Sikap tunggal mereka jelas: komersialisasi bukan solusi. Akhir dari pertarungan ini terang: UU BHP dinyatakan batal oleh Mahkamah Konstitusi. Pesan yang jelas dari mereka adalah: pendidikan tinggi bukan ladang untuk mencari laba.

Komentar