REKONSTRUKSI SEJARAH AL-QURAN

 



AL-QURAN bagi kaum Muslimin adalah verbum dei (kalãmu-Allãh) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar kemampuan apapun: “Seandainya Kami turunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah karena gentar kepada Allah” (59:21). Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum Muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat Muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah al-Quran. Itulah sebabnya, al-Quran berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Quran, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum Muslimin tentunya akan sulit dipahami.

Al-Quran memang tergolong ke dalam sejumlah kecil kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif. Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim.

Sejumlah pengamat Barat memandang al-Quran sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar dua puluh tahunan, merefleksikan perubahan-perubahan lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami. Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya, telah menghasilkan berton-ton kitab tafsîr yang berupaya menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, sejumlah besar mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung bagian-bagian mutasyãbihãt yang, menurut mereka, maknanya hanya diketahui oleh Tuhan.

Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan penerimaan pesan ketuhanan al-Quran oleh Muhammad, kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3H/9 dan abad ke-4H/10 serta berkulminasi dengan penerbitan edisi standar al-Quran di Mesir pada 1342H/1923, kitab suci kaum Muslimin ini masih menyimpan sejumlah misteri dalam berbagai tahapan perjalanan kesejarahannya.

Telah banyak buku yang ditulis kesarjanaan Islam dan Barat untuk mengungkapkan perjalanan kesejarahan al-Quran. Tetapi, karya-karya kesarjanaan Muslim pada umumnya disusun mengikuti sudut pandang resmi ortodoksi Islam yang rentan terhadap kritik sejarah. Demikian pula, dekonstruksi dan evaluasi Barat atas sejarah al-Quran, dalam kebanyakan kasus, dipijakkan pada prasangka religius – terutama dari tradisi Yudeo-Kristiani – atau prasangka intelektual dalam bentuk prakonsepsi gagasan dan kategori, serta prasangka kultural yang berakar pada etnosentrisme Barat. Kajian-kajian Barat juga sering tidak simpatik dan, hingga taraf tertentu, telah mengaduk-aduk berbagai prasangka dogmatis umat Islam. Di sisi lain, sejumlah karya tentang sejarah al-Quran yang telah masuk ke pasaran masyarakat Muslim Indonesia, selain bias dihitung dengan jari, terlihat masih miskin dari segi kandungan

Komentar