SEJARAH ISLAM DI NUSANTARA

 



Dilihat dari atas, gugus kepulauan Nusantara, panggung bagi banyak hal yang akan dituturkan selanjutnya dalam buku ini, membentang dari Teluk Benggala ke Samudra Pasifik. Begitu pula, Semenanjung Melayu sudah lama merupakan bagian tak terpisahkan dari Nusantara. Bandar-bandarnya, dan bandar-bandar daratan utama dari Teluk Thailand hingga Tiongkok Selatan, terhubung erat dengan berbagai negara yang terletak di pulau-pulau besar seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku yang lebih jauh ke timur. Di utara pulau-pulau itu, sebagai bagian dari jaringan perdagangan yang sama, terdapat Pulau Jawa serta pulau-pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa.

Sejak awal Masehi para penguasa di kawasan barat Nusantara berbagi budaya istana yang bercorak India dan mendapat keuntungan dari kehadiran para pedagang asing. Hal ini terjadi karena Asia Tenggara berada di persimpangan dua zona perdagangan kuno yang penting. Yang pertama meliputi Samudra Hindia, sedangkan yang lain menyusuri Laut Tiongkok Selatan. Bahkan, pengetahuan kita mengenai kerajaan-kerajaan Asia Tenggara paling awal berasal dari berbagai catatan berbahasa Tiongkok yang merekam kedatangan para utusan dengan nama-nama yang tampaknya merupakan nama muslim.

Dari arah lain, kita memiliki laporan-laporan berbahasa Arab mengenai berbagai rute pelayaran dari Teluk Persia ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok Selatan dengan titik tumpu di Selat Malaka. Di sana, para kapten menunggu perubahan angin monsun untuk membawa mereka melanjutkan perjalanan atau kembali pulang, sementara perdagangan dalam kepulauan memasok rempah-rempah, getah, bulu burung langka, dan wewangian yang mahal ke kapal yang sudah dipenuhi muatan kain, keramik, dan barang pecah belah. Walaupun ada beberapa petunjuk mengenai orang-orang Muslim awal yang singgah di kawasan ini, Islam sebagai sebuah agama negara terbentuk belakangan. Selama paruh kedua milenium pertama, pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Selat Malaka tampaknya membayar upeti pada Kerajaan Sriwijaya (atau kepada yang mengklaim sebagai pewarisnya). Para penguasa Sriwijaya yang berpusat di sekitar bandar-bandar di Sumatra Timur menyokong Buddhisme Mahayana dan meninggalkan warisan keagamaan hingga sejauh Biara Nalanda di Bihar, India. Mereka mengirimkan misi ke Tiongkok melalui Guangzhou dan kemudian Quanzhou, bandar besar di selatan yang didirikan di bawah pemerintahan Dinasti Tang (618–907). Di sisi lain, laporan-laporan Arab, yang menyebut Quanzhou sebagai tujuan terakhir Zaytun, tampaknya sekadar menyadari keberadaan Sriwijaya secara samar dan hanya menyebut seorang “Maharaja” besar yang mengklaim pulau-pulau di sebuah kawasan yang dinamakan “Zabaj”. Ibu kotanya bias dikenali berdasarkan sebuah bandar kosmopolitan dan “gunung api” yang selalu membara di dekatnya.

Komentar