SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI
Belakangan
ini teori sekularisasi kembali ramai digugat. Ini terkait dengan meningkatnya pengaruh
politik gerakan-gerakan keagamaan di banyak tempat, seperti Kristen Kanan di
Amerika Utara, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India,
dan fundamentalisme Islam di banyak negara, termasuk di Eropa. Hal itu juga
terkait dengan makin meningkatnya minat orang kepada berbagai jenis spiritualitas,
seperti New Age, yang berbeda dari bentuk-bentuk lama agama formal. Semua perkembangan
ini tidak saja menggerogoti asumsi-asumsi pokok teori sekularisasi, yang
menujumkan makin merosotnya peran agama di era modern ini, tapi juga rumusan
lama tentang pemisahan gereja dan negara. Inilah momen-momen di mana, meminjam
Nancy Rosenblum (2000), “kewajiban kewarganegaraan” makin bergesekan dengan
“tuntutan iman”. Itulah momen-momen ketika orang-orang, dalam rumusan filsuf Robert
Audi (2003), berusaha menyeimbangkan “komitmen keagamaan” mereka dan “penalaran
sekular” mereka.
Dalam
gugat-menggugat teori sekularisasi itu, sebagian pemain lama mengaku bahwa
teori lama mereka memang salah. Contoh terbaiknya mungkin adalah sosiolog Peter
Berger, yang menyunting Desecularization of the World (1996). Dia bahkan sempat
menyatakan, “Tidak ada salahnya kita mengakui bahwa teori kita itu salah. Toh,
kita ini sosiolog, yang kesalahannya akan lebih mudah dimaafkan dibanding
kesalahan para teolog!” Yang lain, sosiolog Inggris Steve Bruce misalnya, menulis
God is Dead: Secularization in the West (2002), dan kukuh dengan pendapat lama.
Dia mengklaim bahwa sekularisasi gencar terjadi di Barat, sekalipun observasi nya
dilakukan terutama di Eropa. Ilmuwan lainnya lagi, seperti José Casanova,
sosiolog kelahiran Spanyol tapi bekerja di Amerika Serikat, mengusulkan
cara-cara baru dalam melihat sekularisasi. Dalam Public Religion in the Modern
World (1994), dia memilah tiga unsur dalam teori sekularisasi, yang selalu
dipandang sebagai bagian esensial dari modernisasi. Ketiganya adalah: (1)
diferensiasi struktural yang terus berlangsung dalam ruang-ruang sosial, yang
berakibat pada merosotnya peran agama dan partisipasi keagamaan; (2)
privatisasi agama, yang menjadikan agama tidak lagi memiliki signifikansi publik;
dan (3) pemisahan agama dari wilayah-wilayah kehidupan lain, seperti politik,
ekonomi, dan ilmu pengetahuan yang disebutnya “deprivatisasi agama”. Baginya,
dua klaim yang pertama tidak bisa menjelaskan meningkatnya religiusitas dan
signifikansi agama di ruang publik belakangan ini, dan hanya klaim terakhir
yang bias menjelaskan hal itu. Menurutnya, deprivatisasi (lawan privatisasi) tidak
serta-merta merupakan penolakan atas teori sekularisasi, karena hal itu dapat
berlangsung dalam cara yang konsisten dengan prasyarat-prasyarat masyarakat modern,
termasuk sistem politik yang demokratis. Dengan kata lain: soalnya bukanlah
apakah agama itu pada esensinya bersifat privat atau publik, dan karenanya
sesuai atau tidak dengan modernisasi, tetapi bagaimana agama menjadi publik.
Komentar
Posting Komentar